Sabtu, 28 Agustus 2010

Prabu Salya Gugur

Prabu Salya Gugur

Memasuki hari ke tujuh belas perang besar ke empat saat ini, Bratayuda Jaya Binangun. Sudah menjadi kodrat Dewata yang Maha Agung, menjadi pembicaraan para resi dan brahmana bahwa perang ini harus terjadi untuk mengadili yang salah dan mengunggulkan yang benar. Apapun alasannya, perang tetaplah perang. Yang unggul akan menjadi arang dan yang kalah akan menjadi abu. Kedua belah pihak yang berlawanan memanggul beban dan korban yang tiada terkira. Di perkemahan Bulu Pitu saat ini. Kesedihan, kemarahan, kekecewaan, dan kekesalan bercampur baur layaknya darah, bangkai, dan sisa peralatan perang dalam perasaan dan pikiran Prabu Duryodana.

Sampai dengan hari ke 16 kemarin sudah tidak terhitung prajurit, kerabat, senopati, dan agul – agul Hastina yang sudah gugur di medan laga demi membela hasrat dan harga diri Sang Prabu. Dia sudah kehilangan putra mahkota Lesmana Mandrakumara yang tewas bersama Abimanyu, putra kesayangan Raden Arjuna. Adik iparnya Satria Banakeling, Raden Dayadrata juga telah meregang nyawa tewas di ladang Kurusetra. Demikian juga Satria dari Madyapura Raden Burisrawa juga telah gugur. Sang Maharesi Druna juga tidak kuasa bertahan lebih dari dua hari dalam medan perang, meskipun tewasnya Sang Resi bukan karena keunggulan dan kesaktian panglima – panglima Pandawa.

Resi Druna tewas mengenaskan akibat tipu daya muslihat kreasi Prabu Kresna. Drestajumena yang semenjak lahir membawa tanda busur di punggungnya itu, menebas leher Druna dari belakang. Berikutnya, adinda tersayang Raden Dursasana menjadi korban keganasan dan kesemana – menaan Wrekudara dalam medan perang. Tanpa rasa kemanusiaan, Wrekudara menyobek bahu dan paha Dursasana yang sudah sekarat. Demi mendapatkan darah segar Dursasana, agar nadzar Drupadi untuk mandi keramas darah Kurawa itu terlaksana. Lalu…lalu…di hari yang sama benteng terakhir yang sangat diandalkannya pun tidak mampu menandingingi kehebatan Pandawa. Seorang senopati yang kesaktiannya seolah tanpa tanding. Seseorang yang memberinya kepercayaan diri untuk menghadapi perang ini. Seseorang yang untuknya dia rela memberikan calon permaisuri yang siap disuntingnya. Dia rela melepaskan putri Mandaraka yang diimpikannya untuk sang senopati dengan harapan kelak saat perang besar terjadi, ada yang menjamin kemenangan Kurawa. Namun apa yang terjadi? Seringkali keinginan dan rencana besar apapun kreasi manusia, tanpa daya dihadapan yang Maha Pengatur. 

Adipati Awangga yang dinaungi Dewa Surya pun harus tewas dengan darah membasahi bumi Kurustra. Apa lagi yang dapat diharapkan dalam situasi seperti ini? Memang Dewata menepati janjinya dengan mengirimkan seribu raja lengkap dengan pasukan dan persenjataan perangnya bergabung dengan pasukan Kurawa menghadapi Pandawa. Tapi rasanya itu semua sia – sia, satu per satu mereka tewas tumpas tapis ludes tanpa bekas. Sekarang…..Duryudana tahu pasti tinggal dirinya, Patih Haryo Suman, bapak Mertua Raja Mandaraka Prabu Salya, adiknya Karto marmo, Aswatama dan beberapa parujurit penjaga dalam kerajaan yang tersisa. Apa lagi yang bisa diharapkan dari komposisi seperti ini? Sementera di seberang sana, pandawa masih utuh. Segar bugar tanpa cela sedikitpun.

Memang di pihak Pandawa juga tidak sedikit korban yang jatuh. Dimulai dari Raden Antareja menjelang perang ini terjadi, kemudian 3 putra mahkota Matswapati Utara, Seta, Wrahatsangka, Abimanyu, Gatotkaca, Bambang Irawan, dan tak terhitung lagi para prajurit serta tamtama yang kehilangan nyawa menumpahkan darah basah di bumi Kurusetra. Bukan Duryudana jika tidak mbeguguk makutha waton.Andai saja pikir dan rasanya tidak terus menerus tertutup oleh nafsu berkuasa dan tinggi hati, mungkin perang ini bisa diakhiri sampai di sini. Paling tidak dia bisa menghentikan penderitaan diri dan saudara – saudara kurawanya yang tersisa. Dia masih bisa menyelematkan prajurit – prajurit Hastina tersisa, mencegah penderitaan anak – anak yang sangat mungkin akan kehilangan ayahnya, istri – istri yang sangat mungkin kehilangan suami – suaminya. Namun hati dan pikirnya telah disilaukan nafsu berkuasa, telah tertutup dari rasa mawas diri. Harga dirinya terlalu tinggi untuk mengakui kesalahan apalagi kekalahan. Yang ada hanyalah mencari kambing hitam atas semua kesalahan ini. Dan ketika kekecewaanya memuncak menjadi kemarahan, Arya Suman yang menjadi sasaran tudingan.”Paman Arya Suman !!””Hamba angger Prabu…”, jawab Arya Suman yang pura – pura belum ngeh atas kemarahan Prabu Duryudana. ”Paman….Kalau saya pikir – pikir, kekalahan ini semua karena Paman selalu gagal menyelesaikan proyek yang Paman anjurkan dan minta. Berapa kali Paman mengajukan anggaran dan meminta proyek untuk menghancurkan Pandawa? Berapa banyak anggaran kerajaan yang sudah Paman habiskan? Namun semuanya gagal…!! Mulai dari rekayasa pembakaran bale sigalo – gala.

Waktu itu paman menjanjikan proyek pasti berhasil. Dengan anggaran yang sama sekali tidak saya revisi, berapa paman minta sebanyak itu saya berikan bahkan saya lipatduakan. Gagal…………Bukan pandawa dan Drupadi yang tewas terpanggang, tetapi para pengemis dan gembel yang tiada artinya sama sekali.” ”Jangankan membunuh para pandawa, sekedar menemukan dan menyingkap penyamaran Pandawa pun, proyek paman selalu gagal. Selama setahun masa penyamaran pandawa selesai pengasingan dua belas tahun itu, berkarli – kali paman mengadakan proyek pencarian Pandawa. Baik yang melalui tender atau penunjukan langsung, semuanya payah !!!. Atas saran paman, saya selelau menyetujui jagoan – jagoan pemenang tender yang paman usulkan. Lalu dengan cara apapun paman meminta kepada dewan pemilih agar memenangkan jagoan – jagoan itu meskipun kenyataannya tidak sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.

Tanpa rasa peduli dan mengabaikan rasa keadilan, jagoan yang paman usulkan melenggang menjadi pelaksana meskipun tidak memenuhi syarat administrasi maupun teknis. Bagi jagoan paman itu, yang kurang menjadi cukup, yang salah dapat dibenarkan, yang terlambat diberikan toleransi. Sebaliknya, perlakuan tanpa ampun diterapkan pada pesaingnya. Tidak ada toleransi bagi mereka, peasing – pesaing itu. Bahkan sangat sering, lolosnya mereka ke tahap pemilihan berikutnya hanya untuk mendampingi sang jagoan agar syarat jumlah peserta memenuhi peraturan dan pelanggaran aturan tidak terlihat terlalu telanjang.”Sangkuning hanya terdiam, tertunduk dan sesekali garuk – garuk kepala yang tidak perlu digaruk.”Hmmm, saya tidak tahu ada hubungan apa Paman dengan para jagoan itu? Saya mulai curiga mereka adalah kerabat dekat paman sendiri yang saya tidak menyadarinya. Atau Paman mendapatkan upeti dari para jagoan itu, dan pada ujungnya para jagoan pelaksana pekerjaan itu memotong anggarannya sehingga menurunkan kualitas pekerjaan mereka? Ah….pantas saja semua proyek ini gagal. Sebagai aparat negara-jika benar paman menerima upeti – sungguh hal itu tidak pantas.

Hidup Paman Sangkuni beserta semua aparat kepatihan dan keluarganya sudah ditanggung sepenuhnya oleh negara. Bisa dikatakan gaji paman utuh, karena semua sudah disiapkan mulai dari wisma mewah, kuda tunggangan, pelayan – pelayan dan abdi kepatihan. Namun semua itu belum cukup bagi Paman dan aparat kepatihan, anggaran negara yang seharusnya digunakan untuk tujuan negara yang lebih besar habis dibagi – bagi sebagai upeti bagi paman dan mungkin juga dewan pemilih pelaksana proyek.” Sangkuni hanya terdiam. Tidak satu orangpun yang tahu apa yang dipikirkannya, membenarkan atau membantah kata – kata Duryodana.”Maka wajar saja, tidak ada satupun pekerjaan kecil terlaksana. Sekarang sudah terlambat negara ini sudah hampir hancur, negara ini mendekati akhir keberedaannya. Karena politik curang dan ambisi kalian dewan kepatihan akan harta kekayaan dan nafsu kelimpahan kemewahan, negara ini puluhan tahun tidak terurus. Bahkan ditelantarkan, bahkan secara tidak sadar karena kebodohan aparat kepatihan negara ini telah kita hancurkan sendiri.

Demi kemewahan dan kepentingan sesaat para aparatnya…. Waaa…….. Duryudana… salah apa kamu kepada para dewata sehingga harus menanggung beban seberat ini???” Prabu Salya, Raja Mandaraka itu, mencoba menenangkan kekesalan dan kemarahan Duryodana.”Anger anak prabu, anak mantu saya Duryodana. Mohon ijin saya matur ya Nger..” ”Silakan rama prabu…sebagai sesepuh Hastina, saya yakin Bapak mertua dapat bersikap bijak dengan mendukung sepenuhnya apa yang telah Kerajaan Hastina putuskan”.”Anak mantu Duryodana… Belum terlambat menurut hemat saya untuk mengakhiri penderitaan punggawa dan rahayat Hastina saat ini. Setidaknya anak prabu dan duapuluhan Kurawa yang tersisa masih selamat sampai dengan saat ini. Seperti yang selalu saya katakan, jika anak prabu mengijinkan biarlah saya yang menjadi utusan Hastina untuk meminta penghentian peperangan ini sampai di sini saja. Saya percaya Pandawa akan bersedia menerima dengan legawa. Dan saya yakin anak prabu tidak akan kehilangan harga diri apalagi kekuasaan. Setidaknya separo Hastina, bagian mana yang Anak prabu pilih, akan direlakan oleh Pandawa untuk ananda kuasai. Kalau toh itupun masih kurang, dengan rela lagawa saya bisa menyerahkan Kerajakan Mandaraka beserta jajahan dan segala isinya kepada anak Prabu. Toh saya tidak punya putera mahkota sebagai penerus tahta. Tidak ada salahnya sama sekali kalau saya menyerahkan kekuasaan dan kekayaan yang saya punya untuk ananda Prabu, toh ananda adalah menantu saya. Memang dulu saya menyanggupi menjadai Senopati Kurawa pada perang besar ini. Meskipun kata – kata kesanggupan dari mulut saya waktu itu keluar antara sadar dan tidak sadar. Setelah saya menierima dan menikmati segala rupa undangan pesta agung yang ternyata atas kehendak Anak Prabu. Begitu kenyang perut saya, terlepas dahaga saya, terbuai suka cita perasaan saya, anak prabu datang menghampiri dan merangkul pundak saya dengan mengatakan ’Mohon rama prabu nanti bersedi membantu Hastina dengan menjadi Senopati Perang’, sayapun menyanggupi ’iya’….Dan….”Belum selesai Prabu Salya mengungkapkan semua apa yang dipikirkannya, Patih Haryo Suman menyela. ”Sinuwun Prabu, kepareng paman matur nger…”Haryo Suman adalah tipe orang yang pandai memanfaatkan situasi sekecil apapun untuk kepentingan dan namanya. Dengan segera dia bisa membalikkan situasi yang memojokkanya menjadi situasi yang menjadikannya di atas angin. Maka setelah habis dicaci maki oleh Prabu Duryodana, sekarang dia merasa ada kesempatan untuk menyenangkan dan mengembalikan rasa percaya diri Durydana sekaligus memancing emosi Prabu”Anak prabu…, perang ini ananda yang memulai maka menurut hemat Paman sampai kapanpun harus kita teruskan demi menjaga nama baik dan harga diri Raja Agung Hastinapura saat ini yaitu Ananda. Selama saya, Patih Hastinapura masih bernafas jangan harap siapapun pihak lain akan mampu menginjakkan kaki di Hastina tanpa ijin paduka.

Kurawa yang masih tersisa dua puluhan orang ini juga selalu siap sedia untuk menghadang para prajurit dan panglima Pandawa. Semuanya sedang menunggu perintah Paduka untuk maju ke medan laga. Anak prabu, saya hanyalah sekedar patih yang tentu saja tidaklah sehebat raja agung. Saya juga bukanlah sesepuh yang bijaksana dan mampu menjadi pembimbing dan penolong momongannya. Namun setidaknya saya adalah orang yang tahu diri dan mengerti balas budi. Lebih dari separo umur hidup saya, saya menumpang di Hastina. Bukan hanya saya, tetapi juga istri dan keturunan saya. Tetapi khan orang seperti saya – yang mengerti balas budi – tidak banyak, adalah biasa bagi siapapun, wakil rakyat, para pemimpin negara atau bahkan seorang raja agung mengingkari janji dan komitmen yang sudah diucapkannya. Apalagi jika yang bersangkutan merasa tidak pernah nempil kamukten di Hastina meskipun putrinya telah ananda muktikan menjadi permaisuri….Jadi ya tidak perlu diharapkan orang – orang seperti ini.”Prabu Salya mulai merasa, siapa yang ditunjuk hidungnya oleh Sang Patih. Di kesampatan ini, tidak ada lain kecuali dirinya yang putrinya dipersunting dan menjadi permaisuri Prabu Duryodana, yaitu Dewi Banowati. Namun dirinya masih mencoba bersabar, dia tahu hanya akan memperkeruh situasi dan meningkatkan ketegangan antar mereka jika dirinya melayani ocehan Sangkuning.

Prabu Salya tahu pasti siapa Sangkuning. Kekacauan dan kehancuran negara ini sebenarnya bersumber pada Sangkuning. Benih – benih permusuhan antara Kurawa dan Pandawa semakin menjadi – jadi karena adanya Sangkuning. Sangkuning adalah adik Dewi Gandari istri Destarata. Dia menjadi Patih Hastinapura karena ngenger dan dibawa kakaknya. Dialah yang menanamkan racun permusuhan, nafsu kekuasaan dan keserakahan akan kekayaan dalam diri Duryodana. Duryodana – lagi – lagi – mulai termakan hasutan Sangkuni. “Jadi paman, apakah duapuluh Kurawa dan Paman Sangkuning akan mampu mengimbangi kekuatan Pandawa saat ini?”. Sebenarnya tidak diperlukan penegasan jawaban lagi mengenai ini. Duryodana hanya mencoba mengulur waktu dan menghibur diri sendiri. Dia tahu pasti, cukup dengan Werkudoro jangankan dua puluh Kurawa, seratus kurawa masih segar bugar pun akan bertekuk lutut tidak lebih dari zaherí peperangan. Yang diharapkannya adalah kesediaan Salya untuk turun gelanggang perang, entah bagaimana caranya dengan cara halus atau kasar, entah dibujuk atau diintimidisai, entah dengan dimohon atau disindir, dengan menyembah tapak kaki Salya seribu kali pun akan dilakukannya asalkan Sang Mertua bersedia menjadi senopati.“Anggar prabu Duryudana…..Sekarang inilah yang kita punya. Saya dan duapuluh kurawa yang tersisa. Kita tidak pelu mengharapkan lagi selain di luar itu. Bukan watak Duryudana saya kira, untuk menyerah dan mengemis belas kasih Pandawa”“Ya benar Paman, hanya saja…..saya menyesali. Mengapa orang tua yang kita harapkan, yang saya sembah – sembah, yang putrinya menikmati kekuasaan dan kemewahan kerajaan di masa damai, tetapi begitu negara dalam masa sulit dan diambang kehancuran, yang bersangkutan sama sekali tidak bersedia cawe – cawe. Berbeda dengan Eyang Resi Bisma, Bapa Druna, dan juga Kakang Adipati Karna….Mereka adalah pinisepuh sebenarnya, yang tidak hanya menginginkan kenikmatan tetapi juga bersedia menanggung kesulitan….”Memasuki hari ke tujuh belas perang besar ke empat saat ini, Baratayuda Jaya Binangun. Sudah menjadi kodrat Dewata yang Maha Agung, menjadi pembicaraan para resi dan brahmana bahwa perang ini harus terjadi untuk mengadili yang salah dan mengunggulkan yang benar.

Apapun alasannya, perang tetaplah perang. Yang unggul akan menjadi arang dan yang kalah akan menjadi abu. Kedua belah pihak yang berlawanan memanggul beban dan korban yang tiada terkira.Di perkemahan Bulu Pitu saat ini. Kesedihan, kemarahan, kekecewaan, dan kekesalan bercampur baur layaknya darah, bangkai, dan sisa peralatan perang dalam perasaan dan pikiran Prabu Duryodana. Sampai dengan hari ke 16 kemarin sudah tidak terhitung prajurit, kerabat, senopati, dan agul – agul Hastina yang sudah gugur di medan laga demi membela hasrat dan harga diri Sang Prbu. Dia sudah kehilangan putra mahkota Lesmana Mandrakumara yang tewas sampyuh bersama Abimanyu, putra kesayangan Raden Arjuna. Adik iparnya Satria Banakeling, Raden Dayadrata juga telah meragang nyawa tewas di ladang Kurusetra. Demikian juga Satria dari Madyapura Raden Burisrawa juga telah gugur.

Sang Maharesi Druna juga tidak kuasa bertahan lebih dari dua hari dalam medan perang, meskipun tewasnya Sang Resi bukan karena keunggulan dan kesaktian panglima – panglima Pandawa. Resi Druna tewas mengenaskan akibat tipu daya muslihat kreasi Prabu Kresna. Drestajumena yang semenjak lahir membawa tanda busur di punggungnya itu, menebas leher Druna dari belakang. Berikutnya, adinda tersayang Raden Dursasana menjadi korban keganasan dan kesemana – menaan Wrekudara dalam medan perang. Tanpa rasa kemanusiaan, Wrekudara menyobek bahu dan paha Dursasana yang sudah sekarat. Demi mendapatkan darah segar Dursasana, agar nadzar Drupadi untuk mandi keramas darah Kurawa itu terlaksana. Lalu…lalu…di hari yang sama benteng terakhir yang sangat diandalkannya pun tidak mampu menandingingi kehebatan Pandawa. Seorang senopati yang kesaktiannya seolah tanpa tanding. Seseorang yang memberinya kepercayaan diri untuk menghadapi perang ini. Seseorang yang untuknya dia rela memberikan calon permaisuri yang siap disuntingnya. Dia rela melepaskan putri Mandaraka yang diimpikannya untuk san senopati dengan harapan kelak saat perang besar terjadi, ada yang menjamin kemenangan Kurawa. Namun apa yang terjadi? Seringkali keinginan dan rencana besar apapun kreasi manusia, tanpa daya dihadapan yang Maha Pengatur.

Adipati Awangga yang dinaungi Dewa Surya pun harus tewas dengan darah membasahi bumi Kurustra. Apa lagi yang dapat diharapkan dalam situasi seperti ini? Memang Dewata menepati janjinya dengan mengirimkan seribu raja lengkap dengan pasukan dan persenjataan perangnya bergabung dengan pasukan Kurawa menghadapi Pandawa. Tapi rasanya itu semua sia – sia, satu per satu mereka tewas tumpas tapis ludes tanpa bekas. Sekarang…..Duryodana tahu pasti tinggal dirinya, Patih Haryo Suman, bapak Mertua Raja Mandaraka Prabu Salya, adiknya Karto marmo, Aswatama dan beberapa parujurit penjaga dalam kerajaan yang tersisa. Apa lagi yang bisa diharapkan dari komposisi seperti ini? Sementera di seberang sana, pandawa masih utuh. Segar bugar tanpa cela sedikitpun. Memang di pihak Pandawa juga tidak sedikit korban yang jatuh. Dimulai dari Raden Antareja menjelang perang ini terjadi, kemudian 3 putra mahkota Matswapati Utara, Seta, Wrahatsangka. Abimanyu, Gatotkaca, Bambang Irawan, dan tak terhitung lagi para prajurit serta tamtama yang kehilangan nyawa menumpahkan darah basah di bumi Kurusetra. Bukan Duryodana jika tidak mbeguguk makutha waton. Andai saja pikir dan rasanya tidak terus menerus tertutup oleh nafsu berkuasa dan tinggi hati, mungkin perang ini bisa diakhiri sampai di sini. Paling tidak dia bisa menghentikan penderitaan diri dan saudara – saudara kurawanya yang tersisa. Dia masih bisa menyelematkan prajurit – prajurit Hastina tersisa, mencegah penderitaan anak – anak yang sangat mungkin akan kehilangan ayahnya, istri – istri yang sangat mungkin kehilangan suami – suaminya. Namun hati dan pikirnya telah disilaukan nafsu berkuasa, telah tertutup dari rasa mawas diri.

Harga dirinya terlalu tinggi untuk mengakui kesalahan apalagi kekalahan. Yang ada hanyalah mencari kambing hitam atas semua kesalahan ini. Dan ketika kekecewaanya memuncak menjadi kemarahan, Arya Suman yang menjadi sasaran tudingan.Paman Arya Suman !!””Hamba angger Prabu…”, jawab Arya Suman yang pura – pura belum ngeh atas kemarahan Prabu Duryudana. ”Paman….Kalau saya pikir – pikir, kekalahan ini semua karena Paman selalu gagal menyelesaikan proyek yang Paman anjurkan dan minta. Berapa kali Paman mengajukan anggaran dan meminta proyek untuk menghancurkan Pandawa? Berapa banyak anggaran kerajaan yang sudah Paman habiskan? Namun semuanya gagal…!! Mulai dari rekayasa pembakaran bale sigolo – golo. Waktu itu paman menjanjikan proyek pasti berhasil. Dengan anggaran yang sama sekali tidak saya revisi, berapa paman minta sebanyak itu saya berikan bahkan saya lipatduakan. Gagal…………Bukan pandawa dan Drupadi yang tewas terpanggang, tetapi para pengemis dan gembel yang tiada artinya sama sekali.” ”Jangankan membunuh para pandawa, sekedar menemukan dan menyingkap penyamaran Pandawa pun, proyek paman selalu gagal. Selama setahun masa penyamaran pandawa selesai pengasingan dua belas tahun itu, berkarli – kali paman mengadakan proyek pencarian Pandawa. Baik yang melalui tender atau penunjukan langsung, semuanya payah !!!. Atas saran paman, saya selelau menyetujui jagoan – jagoan pemenang tender yang paman usulkan. Lalu dengan cara apapun paman meminta kepada dewan pemilih agar memenangkan jagoan – jagoan itu meskipun kenyataannya tidak sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.

Tanpa rasa peduli dan mengabaikan rasa keadilan, jagoan yang paman usulkan melenggang menjadi pelaksana meskipun tidak memenuhi syarat administrasi maupun teknis. Bagi jagoan paman itu, yang kurang menjadi cukup, yang salah dapat dibenarkan, yang terlambat diberikan toleransi. Sebaliknya, perlakuan tanpa ampun diterapkan pada pesaingnya. Tidak ada toleransi bagi mereka, peasing – pesaing itu. Bahkan sangat sering, lolosnya mereka ke tahap pemilihan berikutnya hanya untuk mendampingi sang jagoan agar syarat jumlah peserta memenuhi peraturan dan pelanggaran aturan tidak terlihat terlalu telanjang.”Sangkuni hanya terdiam, tertunduk dan sesekali garuk – garuk kepala yang tidak perlu digaruk.”Hmmm, saya tidak tahu ada hubungan apa Paman dengan para jagoan itu? Saya mulai curiga mereka adalah kerabat dekat paman sendiri yang saya tidak menyadarinya. Atau Paman mendapatkan upeti dari para jagoan itu, dan pada ujungnya para jagoan pelaksana pekerjaan itu memotong anggarannya sehingga menurunkan kualitas pekerjaan mereka? Ah….pantas saja semua proyek ini gagal. Sebagai aparat negara-jika benar paman menerima upeti – sungguh hal itu tidak pantas. Hidup Paman Sangkuni beserta semua aparat kepatihan dan keluarganya sudah ditanggung sepenuhnya oleh negara. Bisa dikatakan gaji paman utuh, karena semua sudah disiapkan mulai dari wisma mewah, kuda tunggangan, pelayan – pelayan dan abdi kepatihan.

Namun semua itu belum cukup bagi Paman dan aparat kepatihan, anggaran negara yang seharusnya digunakan untuk tujuan negara yang lebih besar habis dibagi – bagi sebagai upeti bagi paman dan mungkin juga dewan pemilih pelaksana proyek.” Sangkuni hanya terdiam. Tidak satu orangpun yang tahu apa yang dipikirkannya, membenarkan atau membantah kata – kata Duryodana.”Maka wajar saja, tidak ada satupun pekerjaan kecil terlaksana. Sekarang sudah terlambat negara ini sudah hampir hancur, negara ini mendekati akhir keberedaannya. Karena politik curang dan ambisi kalian dewan kepatihan akan harta kekayaan dan nafsu kelimpahan kemewahan, negara ini puluhan tahun tidak terurus. Bahkan ditelantarkan, bahkan secara tidak sadar karena kebodohan aparat kepatihan negara ini telah kita hancurkan sendiri. Demi kemewahan dan kepentingan sesaat para aparatnya…. Waaa…….. Duryodana… salah apa kamu kepada para dewata sehingga harus menanggung beban seberat ini???” Prabu Salya, Raja Mandaraka itu, mencoba menenangkan kekesalan dan kemarahan Duryodana.”Angger anak prabu, anak mantu saya Duryodana. Mohon ijin saya matur ya Ngger..” ”Silakan rama prabu…sebagai sesepuh Hastina, saya yakin Bapak mertua dapat bersikap bijak dengan mendukung sepenuhnya apa yang telah Kerajaan Hastina putuskan”.”Anak mantu Duryodana… Belum terlambat menurut hemat saya untuk mengakhiri penderitaan punggawa dan rahayat Hastina saat ini. Setidaknya anak prabu dan duapuluhan Kurawa yang tersisa masih selamat sampai dengan saat ini.

Seperti yang selalu saya katakan, jika anak prabu mengijinkan biarlah saya yang menjadi utusan Hastina untuk meminta penghentian peperangan ini sampai di sini saja. Saya percaya Pandawa akan bersedia menerima dengan legawa. Dan saya yakin anak prabu tidak akan kehilangan harga diri apalagi kekuasaan. Setidaknya separo Hastina, bagian mana yang Anak prabu pilih, akan direlakan oleh Pandawa untuk ananda kuasai. Kalau toh itupun masih kurang, dengan rela lagawa saya bisa menyerahkan Kerajakan Mandaraka beserta jajahan dan segala isinya kepada anak Prabu. Toh saya tidak punya putera mahkota sebagai penerus tahta. Tidak ada salahnya sama sekali kalau saya menyerahkan kekuasaan dan kekayaan yang saya punya untuk ananda Prabu, toh ananda adalah menantu saya. Memang dulu saya menyanggupi menjadai Senopati Kurawa pada perang besar ini. Meskipun kata – kata kesanggupan dari mulut saya waktu itu keluar antara sadar dan tidak sadar. Setelah saya menierima dan menikmati segala rupa undangan pesta agung yang ternyata atas kehendak Anak Prabu. Begitu kenyang perut saya, terlepas dahaga saya, terbuai suka cita perasaan saya, anak prabu datang menghampiri dan merangkul pundak saya dengan mengatakan ’Mohon rama prabu nanti bersedi membantu Hastina dengan menjadi Senopati Perang’, sayapun menyanggupi ’iya’….Dan….”Belum selesai Prabu Salya mengungkapkan semua apa yang dipikirkannya, Patih Haryo Suman menyela. ”Sinuwun Prabu, kepareng paman matur ngger…”Haryo Suman adalah tipe orang yang pandai memanfaatkan situasi sekecil apapun untuk kepentingan dan namanya. Dengan segera dia bisa membalikkan situasi yang memojokkanya menjadi situasi yang menjadikannya di atas angin. Maka setelah habis dicaci maki oleh Prabu Duryodana, sekarang dia merasa ada kesempatan untuk menyenangkan dan mengembalikan rasa percaya diri Duryodana sekaligus memancing emosi Prabu Salya. ”Anak prabu…, perang ini ananda yang memulai maka menurut hemat Paman sampai kapanpun harus kita teruskan demi menjaga nama baik dan harga diri Raja Agung Hastinapura saat ini yaitu Ananda.

Selama saya, Patih Hastinapura masih bernafas jangan harap siapapun pihak lain akan mampu menginjakkan kaki di Hastina tanpa ijin paduka. Kurawa yang masih tersisa dua puluhan orang ini juga selalu siap sedia untuk menghadang para prajurit dan panglima Pandawa. Semuanya sedang menunggu perintah Paduka untuk maju ke medan laga. Anak prabu, saya hanyalah sekedar patih yang tentu saja tidaklah sehebat raja agung. Saya juga bukanlah sesepuh yang bijaksana dan mampu menjadi pembimbing dan penolong momongannya. Namun setidaknya saya adalah orang yang tahu diri dan mengerti balas budi. Lebih dari separo umur hidup saya, saya menumpang di Hastina. Bukan hanya saya, tetapi juga istri dan keturunan saya. Tetapi khan orang seperti saya – yang mengerti balas budi – tidak banyak, adalah biasa bagi siapapun, wakil rakyat, para pemimpin negara atau bahkan seorang raja agung mengingkari janji dan komitmen yang sudah diucapkannya. Apalagi jika yang bersangkutan merasa tidak pernah nempil kamukten di Hastina meskipun putrinya telah ananda muktikan menjadi permaisuri….Jadi ya tidak pelu diharapkan orang – orang seperti ini.”Prabu Salya mulai merasa, siapa yang ditunjuk hidungnya oleh Sang Patih. Di kesampatan ini, tidak ada lain kecuali dirinya yang putrinya dipersunting dan menjadi permaisuri Prabu Duryodana, yaitu Dewi Banowati. Namun dirinya masih mencoba bersabar, dia tahu hanya akan memperkeruh situasi dan meningkatkan ketegangan antar mereka jika dirinya melayani ocehan Sangkuni. Prabu Salya tahu pasti siapa Sangkuni. Kekacauan dan kehancuran negara ini sebenarnya bersumber pada Sangkuni. Benih – benih permusuhan antara Kurawa dan Pandada semakin menjadi – jadi karena adanya Sangkuni. Sangkuni adalah adik Dewi Gendari istri Destarata. Dia menjadi Patih Hastinapura karena ngenger dan dibawa kakaknya. Dialah yang menanamkan racun permusuhan, nafasu kekuasaan dan keserakahan akan kekayaan dalam diri Duryodana.

Duryodana – lagi – lagi – mulai termakan hasutan Sangkuni. “Jadi paman, apakah duapuluh Kurawa dan Paman Sangkuni akan mampu mengimbangi kekuatan Pandawa saat ini?”. Sebenarnya tidak diperlukan penegasan jawaban lagi mengenai ini. Duryodana hanya mencoba mengulur waktu dan menghibur diri sendiri. Dia tahu pasti, cukup dengan Werkudoro jangankan dua puluh Kurawa, seratus kurawa masih segar bugar pun akan bertekuk lutut tidak lebih dari zaherí peperangan. Yang diharapkannya adalah kesediaan Salya untuk turun gelanggang perang, entah bagaimana caranya dengan cara halus atau kasar, entah dibujuk atau diintimidisai, entah dengan dimohon atau disindir, dengan menyembah tapak kaki Salya seribu kali pun akan dilakukannya asalkan Sang Mertua bersedia menjadi senopati.“Anggar prabu Duryodana…..Sekarang inilah yang kita punya. Saya dan duapuluh kurawa yang tersisa. Kita tidak pelu mengharapkan lagi selain di luar itu. Bukan watak Duryodana saya kira, untuk menyerah dan mengemis belas kasih Pandawa”“Ya benar Paman, hanya saja…..saya menyesali. Mengapa orang tua yang kita harapkan, yang saya sembah – sembah, yang putrinya menikmati kekuasaan dan kemewahan kerajaan di masa damai, tetapi begitu negara dalam masa sulit dan diambang kehancuran, yang bersangkutan sama sekali tidak bersedia cawe – cawe. Berbeda dengan Eyang Resi Bisma, Bapa Druna, dan juga Kakang Adipati Karna….Mereka adalah pinisepuh sebenarnya, yang tidak hanya menginginkan kenikmatan tetapi juga bersedia menanggung kesulitan….”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Via Facebook